Kapitayan: Monoteisme Tertua di Jawa
Bertanya.Id, - Pertanyaan tentang agama pertama yang dianut di Nusantara seringkali menarik perhatian. Meskipun Hindu dan Buddha dikenal luas, ada agama purba lain yang lebih tua, yaitu Kapitayan. Agama ini dipraktikkan oleh masyarakat asli Jawa yang berkulit hitam jauh sebelum Hindu dan Buddha masuk.
Kapitayan sebagai Monoteisme Asli Jawa
Kapitayan adalah ajaran monoteisme asli Jawa yang diwariskan dari generasi ke generasi sejak zaman prasejarah. Orang-orang Kapitayan menyebut agama mereka sebagai warisan leluhur. Kata "kapitayan" berasal dari "taya" yang berarti tidak terlihat atau mutlak, merujuk pada Tuhan yang tidak bisa dibayangkan, disebut Sang Hyang Taya, mirip dengan konsep Tuhan dalam Islam.
Konsep Ketuhanan Kapitayan
Kapitayan memandang Tuhan sebagai entitas tak terjangkau pikiran manusia. Untuk menyembah Sang Hyang Taya, mereka menggunakan sarana seperti batu, pohon, atau air, bukan sebagai objek penyembahan tetapi sebagai media komunikasi dengan Tuhan, mirip dengan Ka'bah dalam Islam.
Tempat Ibadah dan Ritual Kapitayan
Tempat ibadah Kapitayan disebut "sanggar", biasanya berada di alam terbuka seperti di bawah pohon atau dekat sumber air. Di sini, mereka melakukan sembahyang, tumpengan, dan persembahan untuk menghormati leluhur serta berkomunikasi dengan Tuhan.
Kapitayan dan Agama Lain
Kapitayan hanya mengenal satu Tuhan, berbeda dengan Hindu yang memiliki banyak dewa. Meskipun menerima pengaruh Hindu, Kapitayan menolak konsep dewa Wisnu yang berwujud manusia, karena Tuhan mereka bersifat gaib. Ketika Islam datang, ada penolakan awal, namun setelah memahami konsep tauhid, banyak yang akhirnya menerima Islam.
Pengaruh Kapitayan dalam Budaya Nusantara
Kapitayan mempengaruhi banyak aspek budaya Nusantara, termasuk praktik tumpengan yang diadopsi oleh Wali Songo dalam Islam sebagai bentuk sedekah. Gerakan sembahyang Kapitayan yang panjang juga mempengaruhi praktik salat dalam Islam.
Pandangan Ahli Sejarah
Menurut Profesor Slamet Muljana, Kapitayan memainkan peran penting dalam membentuk identitas religius masyarakat kuno Nusantara. Ajaran ini fokus pada penyembahan Tuhan tunggal yang gaib dan tak terjangkau oleh pikiran manusia.
Profеsor Djoko Suryo, Ph. D. (Pakar Sеjarah Agama)